Dahulu, anak-anak SMA tahun ketiga dihadapkan dengan dilema bahwa 10 tahun lagi minyak Indonesia habis. Itulah pertanyaan yang sangat menghantui saya ketika akhir masa SMA. Berangkat dari sana, saya pun memilih jurusan Geologi. Menurut saya saat itu, Geologi lebih aman, karena dunia kerjanya bisa ke tambang, sipil, minyak, dll.
itulah sebuah dilema pada 2005. Dilema yang dihadapi teman SMA sekarang adalah harga minyak dunia yang turun drastis. Setelah masa kejayaannya, minyak dunia mencapai harga tertinggi di US$ 130/bbl kemudian terjun bebas ke US$34/bbl. Akibatnya, industri migas hulu terkoreksi sikapnya. Semua kemewahan yang melekat dengan dunia migas terkoreksi dengan jatuhnya harga minyak.
Dari tahun ke tahun, umumnya naik turunnya harga minyak dipengaruhi oleh isu-isu penting seperti yang terlihat pada grafik dibawah.
harga minyak dan kaitannya terhadap isu penting
Tahun 2014 hingga sekarang, isu perang bukanlah hal baru. Misalnya, isu sengketa Laut China Selatan atau Spratly Island, sengketa Senkaku / Diayou Island, ISIS, Rusia – Turki, dan terakhir Arab-Iran. Isu-isu yang berkembang ini tidak menyebabkan naiknya harga minyak ke posisi yang diharapkan, US$80-100/bbl. Kenapa?
Kenapa harga minyak sekalipun dunia diterpa isu-isu penting tidak mau beranjak dari kisaran harga US$ 34/bbl? Ada beberapa ahli berpendapat bahwa harga minyak jatuh karena oversupply. Balik lagi ke dasar ekonomi, pasokan dan kebutuhan sangat berperan.
Alaminya, pasokan minyak akan cenderung turun seiring berjalannya waktu. Harusnya begitu. Sesuai dengan konsep, minyak Indonesia akan habis dalam waktu 10 tahun lagi. Alamiahnya seperti itu, karena migas adalah energi yang tidak bisa diperbaharui (non renewable energy). Tapi, minyak dunia sejatinya tidak berkurang pasokannya dikarenakan adanya penemuan-penemuan lapangan migas baru. Belum lagi ditambah penemuan lapangan migas dengan konsep baru (misalnya shale gas/ oil shale, CBM, etc).
Jadi, menurut saya, harga minyak dunia turun saat ini mungkin lebih dikontrol oleh perang pasokan. Grafik dibawah menggambarkan bagaiman oversupply yang terjadi terhadap permintaan pasar.
Grafik Supply vs Demand
Kondisi oversupply diperparah dengan komitmen Arab Saudi dan OPEC untuk tidak menurukan produksi mereka. Akibatnya, minyak berlimpah. Belum lagi, minyak yang beredar di pasar gelap. Tidak bisa dipungkiri, lapangan minyak yang dimiliki oleh ISIS merupakan lapangan minyak besar. Beberapa lapangan minyak ISIS mungkin sekaliber lapangan minyak chevron di Riau, yang mampu memproduksi hingga 250,000 bopd. Arab Saudi tentu tidak mau menahan laju produksinya. Karena apa? Karena ambisi mereka untuk tetap mendominasi pasar minyak dunia. Arab Saudi akan setuju menahan laju produksi minyak, apabila semua pihak yang memproduksi minyak bersedia ikut menahan produksinya mereka (baik OPEC maupun non-OPEC).
Pertanyaannya, sejauh apa harga minyak dunia bisa jatuh? Menarik. Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mengetahui berapa biaya yang dibutuhkan untuk produksi 1 barrel migas. Tabel dibawah memperilhatkan BEP untuk memproduksi 1 barrel minyak.
breakeven price
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa Mid. East mampu bertahan pada harga minyak dunia US$ 29/bbl. Jadi, titik terendah harga minyak masih belum tersentuh.
Pertanyaan lanjutan, sekalipun Arab tetap pada pendiriannya, US$ 30/bbl, akan bertahan berapa lama mereka dengan kondisi itu? Arab kaya, kita sepakat. Tapi, kita harus ingat bahwa sektor migas masih penyumbang pemasukan mereka. Jadi, harga minyak turun, pendapatan negara turun.